Game Mobile Legends Bakal Masuk Sekolah, Begini Kata Pakar

Game Mobile Legends

Game Mobile Legends – Pernahkah terbayang duduk di bangku sekolah, bukan untuk belajar matematika atau sejarah, melainkan untuk mempelajari strategi push turret, mekanisme hero tank, atau teknik draft pick dalam Mobile Legends? Ini bukan fiksi ilmiah. Belakangan, isu masuknya game Mobile Legends ke dalam kurikulum sekolah menimbulkan riak kontroversi dan kegaduhan di tengah masyarakat. Banyak yang menyambutnya dengan antusias, tapi tak sedikit pula yang mengernyitkan dahi, menganggapnya sebagai lelucon pendidikan modern.

Bagaimana tidak? Game yang selama ini dianggap biang keladi kecanduan, gangguan fokus belajar, hingga penyebab menurunnya prestasi akademik, kini justru ingin dilegalkan dalam lingkungan pendidikan. Tapi apakah semua game layak dijadikan materi ajar? Atau ini cuma manuver pencitraan agar institusi pendidikan terlihat “kekinian”?

ML di Sekolah: Pendidikan Inovatif atau Jurus Instan Cari Perhatian?

Bagi sebagian orang tua, mendengar anaknya belajar Mobile Legends di sekolah terasa seperti mimpi buruk. Mereka membayangkan jam pelajaran berubah menjadi arena pertandingan 5v5, guru menjadi shoutcaster, dan nilai rapor di tentukan oleh jumlah MVP yang di raih. Tapi di balik kekonyolan yang tampak di bonus new member 100, ternyata ada narasi lain yang lebih serius dibalik rencana ini.

Pakar pendidikan digital menilai bahwa masuknya Mobile Legends ke dalam dunia pendidikan bisa menjadi langkah revolusioner—jika di lakukan dengan benar. Game ini bukan sekadar adu jempol cepat, tapi juga mengajarkan tentang kerja sama tim, komunikasi strategis, kemampuan berpikir kritis, dan refleks. Apakah ini berarti game layak di sandingkan dengan pelajaran eksakta? Di sinilah letak masalahnya.

Tanpa kurikulum yang terstruktur dan tujuan edukatif yang jelas, maka kehadiran Mobile Legends di sekolah bisa berubah jadi bom waktu. Bukannya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, malah menciptakan generasi yang sulit membedakan antara hiburan dan kewajiban belajar.

Pakar Bicara: Potensi Ada, Tapi Jangan Ngaco

Menurut beberapa pakar pendidikan digital dan game development, game seperti Mobile Legends memang punya sisi edukatif. Namun, game harus di fraksikan ke dalam metode pembelajaran, bukan menjadi pelajaran itu sendiri. Artinya, Mobile Legends bisa di gunakan sebagai alat bantu mengajar untuk topik-topik seperti pengambilan keputusan cepat, leadership dalam tim, hingga komunikasi efektif.

Namun, yang di sorot tajam adalah siapa yang akan mengajar? Apakah guru sejarah akan di paksa memahami patch terbaru atau menghafal skill ultimate dari hero Layla? Apakah sekolah akan menggaji pelatih e-sport layaknya pelatih olahraga? Jika ya, maka transformasi ini tidak main-main. Tapi jika tidak di siapkan matang, maka yang terjadi hanya kekacauan sistemik.

Beberapa pakar bahkan memperingatkan agar institusi pendidikan tidak sekadar latah mengikuti tren. Pendidikan adalah proses jangka panjang, bukan soal mengikuti viralitas. Mengintegrasikan Mobile Legends ke dalam kurikulum tanpa panduan pedagogi yang kuat hanya akan membuat anak-anak semakin sulit fokus terhadap pembelajaran yang sebenarnya.

Antara E-Sport, Industri, dan Pendidikan

Tak bisa di mungkiri, e-sport sudah menjadi industri raksasa. Turnamen-turnamen besar, hadiah fantastis, dan profesi sebagai gamer profesional kini di anggap setara bahkan lebih menjanjikan daripada pekerjaan konvensional. Di sinilah celah yang coba di manfaatkan oleh penggagas ide ini. Mereka ingin mendekatkan pendidikan dengan realita industri dan tren teknologi yang di gandrungi generasi muda.

Namun, pendidikan bukan sekadar soal mempersiapkan murid untuk dunia kerja. Ia adalah proses pembentukan karakter, pengetahuan, dan moralitas. Jika game di jadikan alat bantu, itu sah-sah saja. Tapi menjadikannya kurikulum utama? Itu persoalan lain.

Dunia pendidikan harus kritis dalam memilah apa yang layak di jadikan materi ajar. Game seperti Mobile Legends memang punya potensi, tapi jika di gunakan secara sembrono, maka yang lahir bukan generasi cerdas digital, melainkan generasi candu layar yang kehilangan arah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *